Ahlan Wa Sahlan

Ahlan Wa Sahlan

Minggu, 13 April 2014

Sepanjang Harapku


“Tik tok tik tok”
Ku tak sadar, malam semakin larut, bunyi  jarum jam dinding warna putih yang kian pudar itu semakin lama seolah semakin keras saja. Tiga jarum itu masih saja  berputar, tak ada protes lelah dari mereka.  Tapi tidak untuk diriku.  Entahlah sudah berapa puluh malam, saku melihat saat ketiga jarum itu membentuk garis lurus diangka dua belas. Dan mata ini pasti masih saja terjaga, hari telah berganti. Laptop masih terbuka, file olah data hasil penelitianku ingin segera aku close saja, tapi aku bertahan. Playlistku pun seolah hanya bunyi tanpa irama. Semua hambar.
            Mentari sudah keluar dari peraduan, kutahu dia memberi isyarat kesemangatan padaku, pada semua saja yang melihat pancaran sinarnya. Tapi mataku masih 2 watt, enggan menangkap sinar itu, aku masih terkantuk. Tak sia-sia, tidur dua jam, analisis dataku selesai juga.
            “Fyuuhhh”
            “Kenapa disaat seperti ini printer ku juga ikut protes minta diminumi tinta?”
Gumamku, sembari mengambil botol tinta lengkap dengan suntikannya.
            “Krucuk krucuk.... “
Cacing-cacing diperut serasa iri dengan printer, Ah, lelucon yang tak lucu dipagi hari. Amunisi laporan ke dosen pembimbing siap. Pukul 07.00 kuberanikan diri mengirim pesan singkat kepada yang memegang kendali tugas akhirku. Seperti biasa menunggu bak antrikan yang menunggu pembagian raskin ataupun BLT dikampungku. Mereka semua manusia-manusia senasib mengejar takdir agar penderitaan tidur 2-3 tiap malam segera berakhir.

Pukul 09.00 diruang AC yang sungguh kontras dengan suhu diluar sana. Dinginnya suhu ruangan sepertinya tak memberi efek segar pada tubuh ini. Dag dig dug, Dosen pembimbing membuka lembar demi lembar buah karyaku sepekan ini.
“Satu, dua , tiga” batinku menghitung.
Tepat hitunngan tiga si ibu memberikan wejanganya.
“pembahasannya dilengkapi  ya mb !,
“Ibu tunggu minggu depan” ujar dosen pembimbingku.
“Ya bu, terimakasih” balasku.
Lemas diri, bukan kesegaran yang didapat, tapi hawa panas yang semakin bertumpuk etika keluar ruangan AC itu.
@@@
“Mb, jadi ikut ke Muria kan?”
“Aku nanti ke Kudusnya mbonceng mb ya”
Begitulah bunyi pesan singkat yang muncul dilayar.
Ya, sejak sepekan yang lalu teman-teman geng 9 dan aliansi 11 berencana liburan ke Muria. Sekadar mengganti view mata yang sudah muak dengan pemandangan kawasan industri serta kepulan pada corong pembuangan bahkan sesekali aroma limbah menusuk hidung.
@@@
Bersama Maya, kami beradu dengan panjangnya aspal pantura. Tanpa persiapan yang ribet cukup ransel di punggung, ku putuskan untuk meninggalkan sejenak Kota Atlas ini. Sengaja kami datang ke Kretek di sore hari. Di rumah Lia lah, aku, Maya beserta 6 teman yang lain menyiapkan perjalanan esok hari.
            Malam ini, aku terbebas dari laptop, data-data. Sejenak ku melupakannya, berharap sepulang nanti akan ada lipatan semangat yang lebih banyak. Tak ada obrolan serius yang menguras energi, semua ringan penuh canda.
            “Via, kapan kau merealisasikan mimpimu membuat Sekolah Karakter?” tanya Lia dengan senyum khasnya. Belum sampai ku menjawab Maya sudah menyela dengan komentarnya.
“Hahaiii, bilang saja mb Lia mau tanya, kapan mb Via lulus?”
“Huuu.... “ Nana melempar bantal ke muka maya. “Dasar kau may, sukanya to the point.”
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.00. kali ini tak ada tawaran lagi, kami semua harus istirahat.
Pagi cerah datang, burung-burung menyambut kami dengan kicauan khasnya. Ya hari ini kami tak boleh kalah semangat dengan burung-burung itu. Mobil kuning mengantarkan kami ke desa terakhir tempat kami mengawali hiking pagi ini. Kali ini kami tak sendiri. Ada dua orang kakak Lia yang tahu medan perjalanan kami. Aku jadi teringat sebuah perkataan bijak, bahwa segala sesuatu serahkanlah pada ahlinya. Kalau tidak tunggulah kehancurannya. Kujamin kalau perjalanan ini hanya berenam. Hancurlah perjalanan kami.
            Satu jam perjalanan kami lalui dengan penuh keceriaan, penuh dengan tawa bahkan kami tak ingin tersaingi dengan kicauan burung, bunyi jangkrik yang kadang memengingkan telinga ini. Dasar, kami mahasiswa, naik gunungpun masih saja nyanyian aksi-aksi di jalan yang kami kumandangkan.
            Tak terasa empat jam perjalanan telah kami lalui
            “Tolong berhenti dulu, aku tak kuat” Nia tersungkur di rerumputan,
”Siapa yang masih punya air” Nita bertanya kepada kami.
            “Habisss” Kami serentak menjawab bak pasukan pengibar bendera pusaka yang bersiap menjalankan tugas mulianya.
Tak kehabiskan akal,  karena memang sudah terbiasa mendaki gunung, kakal Lia tahu persis tanaman apa saja yang bisa di konsumsi kami, setidaknya kandungan air yang terkandung di dalamnya bisa memberikan tetes air kelegaan bagi kami yang kini di rundung kehausan.
“Ayo, semangat perjalanan kita sampai di puncak tinggal sebentar lagi,”
Ucap kakak Lia memberikan semangat kepada kami. Mendung memberi isyarat bahwa air hujan akan jatuh ke bumi. Gemuruh halilintar semakin terdengar jelas.  Dan benar, hujan ini benar-benar turun, bau aroma tanah basah yang nikmat benar-benar aku hirup.  Serentak kami mengucapkan syukur atas hujan yang sudah Allah turunkan siang itu. Satu lagi kami sujud langsung dengan tanah. Disaat itulah diriku semakin dekat dengan Sang Pencipta alam.
~Mengenang Pencarian Energi 6 SKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca artikel dan berkenan memberi komentar ^_^