“Tik tok tik tok”
Ku tak sadar, malam semakin
larut, bunyi jarum jam dinding warna
putih yang kian pudar itu semakin lama seolah semakin keras saja. Tiga jarum
itu masih saja berputar, tak ada protes
lelah dari mereka. Tapi tidak untuk
diriku. Entahlah sudah berapa puluh
malam, saku melihat saat ketiga jarum itu membentuk garis lurus diangka dua
belas. Dan mata ini pasti masih saja terjaga, hari telah berganti. Laptop masih
terbuka, file olah data hasil
penelitianku ingin segera aku close
saja, tapi aku bertahan. Playlistku
pun seolah hanya bunyi tanpa irama. Semua hambar.
Mentari sudah keluar dari peraduan, kutahu dia memberi
isyarat kesemangatan padaku, pada semua saja yang melihat pancaran sinarnya.
Tapi mataku masih 2 watt, enggan menangkap sinar itu, aku masih terkantuk. Tak
sia-sia, tidur dua jam, analisis dataku selesai juga.
“Fyuuhhh”
“Kenapa disaat seperti ini printer ku juga ikut protes minta diminumi tinta?”
Gumamku, sembari mengambil botol tinta lengkap dengan suntikannya.
“Kenapa disaat seperti ini printer ku juga ikut protes minta diminumi tinta?”
Gumamku, sembari mengambil botol tinta lengkap dengan suntikannya.
“Krucuk krucuk....
“
Cacing-cacing diperut
serasa iri dengan printer, Ah, lelucon yang tak lucu dipagi hari. Amunisi
laporan ke dosen pembimbing siap. Pukul 07.00 kuberanikan diri mengirim pesan
singkat kepada yang memegang kendali tugas akhirku. Seperti biasa menunggu bak
antrikan yang menunggu pembagian raskin ataupun BLT dikampungku. Mereka semua
manusia-manusia senasib mengejar takdir agar penderitaan tidur 2-3 tiap malam
segera berakhir.
Pukul 09.00 diruang AC yang sungguh kontras dengan suhu diluar sana. Dinginnya suhu ruangan sepertinya tak memberi efek segar pada tubuh ini. Dag dig dug, Dosen pembimbing membuka lembar demi lembar buah karyaku sepekan ini.
“Satu, dua , tiga”
batinku menghitung.
Tepat hitunngan tiga si ibu
memberikan wejanganya.
“pembahasannya dilengkapi ya mb !,
“Ibu tunggu minggu depan” ujar
dosen pembimbingku.
“Ya bu, terimakasih”
balasku.
Lemas diri, bukan kesegaran
yang didapat, tapi hawa panas yang semakin bertumpuk etika keluar ruangan AC
itu.
@@@
“Mb,
jadi ikut ke Muria kan?”
“Aku nanti ke Kudusnya mbonceng mb ya”
Begitulah bunyi pesan
singkat yang muncul dilayar.
Ya, sejak sepekan yang lalu
teman-teman geng 9 dan aliansi 11 berencana liburan ke Muria. Sekadar mengganti
view mata yang sudah muak dengan pemandangan
kawasan industri serta kepulan pada corong pembuangan bahkan sesekali aroma
limbah menusuk hidung.
@@@
Bersama Maya, kami beradu
dengan panjangnya aspal pantura. Tanpa persiapan yang ribet cukup ransel di
punggung, ku putuskan untuk meninggalkan sejenak Kota Atlas ini. Sengaja kami
datang ke Kretek di sore hari. Di rumah Lia lah, aku, Maya beserta 6 teman yang
lain menyiapkan perjalanan esok hari.
Malam ini, aku terbebas dari laptop, data-data. Sejenak
ku melupakannya, berharap sepulang nanti akan ada lipatan semangat yang lebih
banyak. Tak ada obrolan serius yang menguras energi, semua ringan penuh canda.
“Via, kapan kau
merealisasikan mimpimu membuat Sekolah Karakter?” tanya Lia dengan senyum
khasnya. Belum sampai ku menjawab Maya sudah menyela dengan komentarnya.
“Hahaiii, bilang saja mb Lia mau tanya, kapan mb Via lulus?”
“Huuu.... “ Nana melempar bantal ke muka maya. “Dasar kau may, sukanya to the point.”
Tak terasa jam dinding
sudah menunjukkan pukul 22.00. kali ini tak ada tawaran lagi, kami semua harus
istirahat.
Pagi cerah datang,
burung-burung menyambut kami dengan kicauan khasnya. Ya hari ini kami tak boleh
kalah semangat dengan burung-burung itu. Mobil kuning mengantarkan kami ke desa
terakhir tempat kami mengawali hiking pagi ini. Kali ini kami tak sendiri. Ada
dua orang kakak Lia yang tahu medan perjalanan kami. Aku jadi teringat sebuah
perkataan bijak, bahwa segala sesuatu serahkanlah pada ahlinya. Kalau tidak
tunggulah kehancurannya. Kujamin kalau perjalanan ini hanya berenam. Hancurlah
perjalanan kami.
Satu jam perjalanan kami lalui dengan penuh keceriaan,
penuh dengan tawa bahkan kami tak ingin tersaingi dengan kicauan burung, bunyi
jangkrik yang kadang memengingkan telinga ini. Dasar, kami mahasiswa, naik
gunungpun masih saja nyanyian aksi-aksi di jalan yang kami kumandangkan.
Tak terasa empat jam perjalanan telah kami lalui
“Tolong berhenti
dulu, aku tak kuat” Nia tersungkur di rerumputan,
”Siapa yang masih punya air” Nita bertanya kepada kami.
“Habisss” Kami
serentak menjawab bak pasukan pengibar bendera pusaka yang bersiap menjalankan
tugas mulianya.
Tak kehabiskan akal, karena memang sudah terbiasa mendaki gunung,
kakal Lia tahu persis tanaman apa saja yang bisa di konsumsi kami, setidaknya
kandungan air yang terkandung di dalamnya bisa memberikan tetes air kelegaan
bagi kami yang kini di rundung kehausan.
“Ayo, semangat perjalanan kita sampai di puncak tinggal
sebentar lagi,”
Ucap kakak Lia memberikan
semangat kepada kami. Mendung memberi isyarat bahwa air hujan akan jatuh ke
bumi. Gemuruh halilintar semakin terdengar jelas. Dan benar, hujan ini benar-benar turun, bau
aroma tanah basah yang nikmat benar-benar aku hirup. Serentak kami mengucapkan syukur atas hujan
yang sudah Allah turunkan siang itu. Satu lagi kami sujud langsung dengan
tanah. Disaat itulah diriku semakin dekat dengan Sang Pencipta alam.
~Mengenang Pencarian Energi
6 SKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca artikel dan berkenan memberi komentar ^_^